Oleh Hilmi Akmal
(pengajar, pengalih, dan penyunting alihan bahasa yang pernah dan terus belajar ilmu bahasa hingga maut menutup mata karena merasa dirinya tak pernah menjadi ahli ilmu bahasa)
Pendahuluan
Bahasa merupakan anugerah tak terkira pada manusia dari Tuhan sebagai penciptanya. Bahasalah yang membuat manusia berbeda dari hewan. Manusia dapat membangung peradabannya karena dapat menggunakan nalarnya yang menggunakan bahasa sebagai sarananya. Ilmu yang memelajari bahasa disebut linguistik. Linguistik sebagai ilmu amatlah penting untuk diketahui. Namun, untuk mengetahui seberapa penting linguistik dipelajari perlu diketahui apa itu hakekat linguistik, pembidangannya, dan sejarahnya.
Apa Itu Linguistik?
Linguistik menurut Matthews (1997: vii) adalah ilmu yang mengkaji bahasa atau kajian ilmiah tentang bahasa. Pengertian bahasa menurut Kridalaksana (2005: 3) adalah sistem lambang bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Dari definisi tersebut dapat diuraikan bahwa (1) bahasa adalah sebuah sistem. Maksudnya adalah bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara tidak beraturan. Seperti halnya sistem-sistem lain unsur-unsur bahasa “diatur” seperti pola-pola yang berulang sehingga kalau hanya salah satu bagian saja tidak tampak, dapatlah “diramalkan” atau “dibayangkan” keseluruhannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa itu sistematis, dapat diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang dapat diramalkan, dan juga sistemis, bukan sistem yang tunggal, tetapi terdiri dari beberapa subsistem, yakni subsistem fonologi, subsistem gramatika dan subsistem leksikon; (2) bahasa adalah sistem tanda. Tanda adalah ‘hal atau benda yang mewakili sesuatu, atau hal yang menimbulkan reaksi yang sama bila orang menanggapi’ (dengan cara mendengar, melihat, dan sebagainya) apa yang diwakilinya itu; (3) bahasa adalah sistem bunyi. Pada dasarnya bahasa itu berupa bunyi. Tulisan merupakan turunan belaka dari bunyi bahasa; (4) bahasa digunakan berdasarkan kesepakatan agar orang dapat berkomunikasi dan bekerja sama; (5) bahasa bersifat produktif. Artinya, sebagai sistem dari unsur-unsur yang jumlahnya terbatas bahasa dapat dipakai secara tidak terbatas oleh pemakainya; (6) bahasa bersifat unik. Maksudnya bahasa memiliki sistem yang khas yang tidak harus ada dalam bahasa lain; (7) sebaliknya, ada pula sifat-sifat bahasa yang dipunyai oleh bahasa lain sehingga ada sifat universal, ada pula yang hampir universal; (8) bahasa memiliki variasi-variasi karena bahasa dipakai oleh kelompok manusia untuk berkomunikasi dan bekerja sama dan pemakai bahasa itu banyak ragamnya; (9) bahasa digunakan suatu kelompok sosial untuk mengidentifikasi dirinya, dan (10) bahasa itu memiliki fungsi karena digunakan manusia yang masing-masing memiliki cirinya sendiri-sendiri untuk pelbagai keperluan (Kridalaksana, 2005: 3-6).
Telah disebutkan di atas bahwa bahasa adalah sistem yang memiliki sub-subsistem, yaitu (a) subsistem fonologi, (b) subsistem gramatika, dan (c) subsistem leksikon. Dalam ketiga subsistem itulah bertemu dunia bunyi dan dunia makna. Karena merupakan sistem tanda berupa bunyi, bahasa membentuk sebuah struktur yang bagannya adalah sebagai berikut (Kridalaksana, 2005: 6):
IV I. Dunia Bunyi
II. Dunia Makna
A III. Struktur Bahasa:
I B III II A. Leksikon
C B. Gramatika
C. Fonologi
IV IV. Pragmatik
Gambar 1. Sistem Bahasa
Ilmu yang memelajari tentang bunyi disebut fonetik, sedangkan bunyi bahasa diuaikan dalam fonologi atau fonemik. Ilmu yang mengkaji makna disebut semantik. Leksikon, gramatika, dan fonologi sebagai tiga bagian dari struktur bahasa menyangkut segi makna dan segi bunyi dari bahasa, oleh sebab itu juga menyangkut aspek semantik dan aspek fonetis. Subsistem atau struktur leksikon mencakup perbendaharaan kata. Subsistem gramatika atau tata bahasa terbagi atas morfologi dan sintaksis. Subsistem morfologi mencakup kata, bagian-bagiannya, dan proses pembentukannya. Subsistem sintaksis mencakup satuan-satuan yang lebih besar dari kata, seperti frasa, klausa, kalimat, dan hubungan di antara satuan-satuan itu. Subsistem fonologi mencakup segi-segi bunyi bahasa, baik yang berkaitan dengan ciri-cirinya yang diteliti fonetik), maupun yang bersangkutan dengan fungsinya dalam komunikasi. Dikarenakan bahasa selalu diungkapkan dalam konteks, ada unsur-unsur tertentu yang menyebabkan menyebabkan serasi tidaknya sistem bahasa di dalamnya. Unsur-unsur luar bahasa atau ekstrastruktural itu disebut pragmatik (Kridalaksana, 2005: 7).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada lima tataran linguistik (linguistics level), yaitu (1) fonetik/fonologi, (2) morfologi, (3) sintaksis, (4) semantik, dan (5) pragmatik.
Pembidangan Linguistik
Menurut Kridalaksana (1997: 11), pada dasarnya linguistik mempunyai 2 bidang besar, yakni (1) Mikrolinguistik dan (2) Makrolinguistik. Mikrolinguistik adalah bidang linguistik yang memelajari bahasa dari dalamnya, atau dengan kata lain memelajari struktur bahasa itu sendiri. Makrolinguistik ialah bidang linguistik yang mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, termasuk di dalamnya bidang interdisiplin dan bidang terapan.
Dari sudut tujuan, masih menurut penyusun Kamus Linguistik itu, linguistik dapat dibagi menjadi :
(a) Linguistik teoretis
(b) Linguistik terapan
Linguistik teoretis adalah bidang penelitian bahasa untuk mendapatkan kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa, sedangkan linguistik terapan adalah penelitian atau bidang yang tujuannya adalah untuk memecahkan masalah-masalah praktis. Linguistik teoretis dapat bersifat umum maupun khusus. Linguistik teoretis umum (atau disebut juga linguistik umum) berupaya memahami ciri-ciri umum dalam berbagai bahasa, sementara linguistik teoretis khusus berusaha menyelidiki ciri-ciri khusus dalam bahasa tertentu saja.
Selain bidang-bidang yang telah disebutkan di atas, ada pula penyelidikan bahasa yan sifatnya interdisipliner, yakni bidang penelitian bahasa yang bahannya maupun pendekatannya menggunakan dan dipergunakan oleh ilmu lain.
Di luar kedua bidang itu, ada pula sejarah linguistik, yaitu cabang ilmu yang menyelidiki perkembangan seluk-beluk ilmu linguistik dari masa ke masa. Sejarah linguistik akan saya singgung di bagian Sejarah Linguistik. Pembidangan linguistik itu dapat digambarkan sebagai berikut (Kridalaksana, 1997: 12):
Gambar tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut (Kridalaksana, 1997: 13):
- Teori linguistik adalah cabang yang memusatkan perhatian pada teori umum dan
metode-metode umum dalam penyelidikan bahasa.
- Linguistik deskriptif atau yang dikenal juga sebagai linguistik sinkronis adalah yang menyelidiki sistem bahasa pada waktu tertentu saja tanpa memerhatikan perkembangannya dari waktu ke waktu. Misalnya, bahasa Indonesia dewasa ini atau bahasa Inggris zaman Shakespeare.
- Linguistik historis komparatif atau linguistik diakronis merupakan bidang linguistik yang menyelidiki perkembangan bahasa dari satu masa ke masa lain, serta menyelidiki perbandingan satu bahasa dengan bahasa lain.
Bidang-bidang interdisipliner
- Fonetik: ilmu yang menyelidiki bunyi; ilmu interdisipliner linguistik dengan fisika, anatomi, dan psikologi. Dalam linguistik bidang ini dianggap amat penting karena menyangkut bunyi bahasa.
- Stilistika: ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam bentuk-bentuk sastra; ilmu interdisipliner linguistik dan ilmu susastra.
- Filsafat bahasa: ilmu yang menyelidiki kodrat dan kedudukan bahasa sebagai kegiatan manusia serta dasar-dasar konseptual dan teoretis linguistik; ilmu interdisipiner antara linguistik dan filsafat.
- Psikolinguistik: ilmu yang memelajari hubungan antara bahasa dengan perilaku dan akal budi manusia; ilmu interdisipliner linguistik dan psikologi.
- Sosiolinguistik: ilmu yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat; ilmu interdisipliner linguistik dengan sosiologi.
- Etnolinguistik: ilmu yang menyelidiki hubungan bahasa dan masyarakat pedesaan atau masayarakat yang belum mempunyai tulisan. Bidang ini disebut juga linguistik antropologi.
- Filologi: ilmu yang memelajari bahasa bahasa, kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa yang tercantum dalam bahan-bahan tertulis.
- Semiotika: ilmu yang memelajari lambang-lambang dan tanda-tanda.
- Epigrafi: ilmu yang memelajari tulisan kuno pada prasasti-prasasti.
Linguistik Terapan
- Pengajaran bahasa mencakup metode-metode pengajaran bahasa, bahan pelajaran bahasa, cara-cara mengajar bahasa.
- Penerjemahan mencakup metode dan teknik pengalihan amanat dari satu bahasa (bahasa sumber) ke bahasa lain (bahasa sasaran).
- Leksikografi mencakup metode dan teknik penyusunan kamus.
- Fonetik terapan mencakup metode dan teknik pengucapan bunyi-bunyi dengan tepat, misalnya untuk melatih orang yang gagap, untuk melatih pemain drama, dan sebagainya.
- Sosiolinguistik terapan mencakup pemanfaatan wawasan-wawasan sosiolinguistik untuk keperluan yang praktis, misalnya perencanaan bahasa, pembinaan bahasa, pemberantasan buta huruf, dan lain-lain.
- Pembinaan bahasa internasional mencakup usaha untuk menciptakan komunikasi dan saling pengertian internasional dengan menyusun bahasa buatan Esperanto[1] dan Basic English.[2]
- Pembinaan bahasa khusus mencakup penyusunan peristilahan dan gaya bahasa alam bidang-bidang khusus, misalnya dalam kalangan militer, dalam dunia penerbangan, dalam dunia pelayaran, dan lain-lain.
- Linguistik medis mencakup cacat bahasa dan sebagainya (disebut juga patologi bahasa).
- Grafologi adalah ilmu tentang tulisan.
- Mekanolinguistik mencakup penggunaan linguistik dalam ilmu komputer dan usaha untuk membuat mesin penerjemahan. Selain itu, ia adalah usaha memanfaatkan komputer dalam penyelidikan bahasa, misalnya dalam menyusun konkodans teks-teks, dalam penghitungan frekuensi kata-kata (untuk perkamusan dan untuk pengajaran bahasa). Bidang ini juga dikenal sebagai linguistik komputasional.
Berbagai bidang tersebut di atas menjadi bidang kajian atau penelitian linguistik yang menarik karena kajian linguistik selain mengenai bentuk, makna, struktur, fungsi, dan variasi bahasa [bidang teoretis], juga mencakup kajian-kajian yang berkaitan dengan penerapan ilmu linguistik untuk kepentingan masyarakat [bidang terapan] dan juga yang berkaitan dengan disiplin ilmu lain [bidang interdisipliner] (Lauder dan Lauder, 2005:220-221)
Sejarah Linguistik
Bahasa sudah menarik minat manusia untuk dipelajari semenjak zaman Yunani (kurang lebih abad ke-6 SM). Secara garis besar studi tentang bahasa dapat dibedakan antara (1) tata bahasa tradisional dan (2) linguistik modern. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas sejarah linguistik berdasarkan karya Robins (1995) dan tulisan yang saya unduh dari www.kwary.net.
Tata Bahasa Tradisional
Dalam tata bahasa tradisional, para filsuf Yunani meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, dan geografi. Akan tetapi, mengenai hakikat bahasa–apakah bahasa mirip realitas atau tidak–mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles.
Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya, yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis; pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti oleh kaum konvensionalis. Perbedaan pendapat ini juga merambah ke masalah keteraturan (regular) atau ketidakteraturan (irregular) dalam bahasa. Kelompok penganut pendapat adanya keteraturan bahasa adalah kaum analogis yang pandangannya tidak berbeda dengan kaum naturalis; sedangkan kaum anomalis yang berpendapat adanya ketidakteraturan dalam bahasa mewarisi pandangan kaum konvensionalis. Pandangan kaum anomalis mempengaruhi pengikut aliran Stoik. Kaum Stoik lebih tertarik pada masalah asal mula bahasa secara filosofis. Mereka membedakan adanya empat jenis kelas kata, yakni nomina, verba, konjungsi dan artikel.
Pada awal abad ke-3 SM studi bahasa dikembangkan di kota Alexandria yang merupakan koloni Yunani. Di kota itu dibangun perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan. Para ahli dari kota itu yang disebut kaum Alexandrian meneruskan pekerjaan kaum Stoik, walaupun mereka sebenarnya termasuk kaum analogis. Sebagai kaum analogis mereka mencari keteraturan dalam bahasa dan berhasil membangun pola infleksi bahasa Yunani. Apa yang dewasa ini disebut “tata bahasa tradisional” atau “tata bahasa Yunani,” sebenarnya itu tidak lain didasarkan pada hasil karya kaum Alexandrian ini.
Salah seorang ahli bahasa bemama Dionysius Thrax (akhir abad ke-2 SM) merupakan orang pertama yang berhasil membuat aturan tata bahasa secara sistematis serta menambahkan kelas kata adverbia, partisipel, pronomina dan preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah dibuat oleh kaum Stoik. Di samping itu, sarjana ini juga berhasil mengklasifikasikan kata-kata bahasa Yunani menurut kasus, jender, jumlah, kala, diatesis (voice) dan modus.
Pengaruh tata bahasa Yunani pun sampai ke kerajaan Romawi. Para ahli tata bahasa Latin mengadopsi tata bahasa Yunani dalam meneliti bahasa Latin dan hanya melakukan sedikit modifikasi karena kedua bahasa itu mirip. Tata bahasa Latin dibuat atas dasar model tata bahasa Dionysius Thrax. Dua ahli bahasa lainnya, Donatus (tahun 400 M) dan Priscian (tahun 500 M) juga membuat buku tata bahasa klasik dari bahasa Latin yang berpengaruh sampai ke abad pertengahan.
Selama abad ke-13 hingga ke-15 bahasa Latin memegang peranan penting dalam dunia pendidikan di samping dalam agama Kristen. Pada masa itu gramatika tidak lain adalah teori tentang kelas kata. Pada masa Renaisans bahasa Latin menjadi sarana untuk memahami kesusastraan dan mengarang. Tahun 1513 Erasmus mengarang tata bahasa Latin berdasarkan tata bahasa yang disusun oleh Donatus.
Minat meneliti bahasa-bahasa di Eropa sebenarnya sudah dimulai sebelum zaman Renaisans, antara lain dengan ditulisnya tata bahasa Irlandia (abad 7 M), tata bahasa Eslandia (abad 12), dan sebagainya. Pada masa itu bahasa menjadi sarana dalam kesusastraan dan bila menjadi objek penelitian di universitas tetap dalam kerangka tradisional. Tata bahasa dianggap sebagai seni berbicara (retorika) dan menulis dengan benar. Tugas utama tata bahasa adalah memberi petunjuk tentang pemakaian “bahasa yang baik,” yaitu bahasa kaum terpelajar. Petunjuk pemakaian “bahasa yang baik” ini adalah untuk menghindarkan terjadinya pemakaian unsur-unsur yang dapat “merusak” bahasa seperti kata serapan, ragam percakapan, dan sebagainya.
Tradisi tata bahasa Yunani-Latin berpengaruh ke bahasa-bahasa Eropa lainnya. Tata bahasa Dionysius Thrax pada abad ke-5 diterjemahkan ke dalam bahasa Armenia, kemudian ke dalam bahasa Siria. Selanjutnya para ahli tata bahasa Arab menyerap tata bahasa Siria.
Selain di Eropa dan Asia Barat, penelitian bahasa di Asia Selatan yang perlu diketahui adalah di India dengan ahli gramatikanya yang bernama Panini (abad ke-4 SM). Tata bahasa Sanskrit yang disusun ahli ini memiliki kelebihan di bidang fonetik. Keunggulan ini antara lain karena adanya keharusan untuk melafalkan dengan benar dan tepat doa dan nyanyian dalam kitab suci Weda.
Sampai menjelang zaman Renaisans, bahasa yang diteliti adalah bahasa Yunani, dan Latin. Bahasa Latin mempunyai peran penting pada masa itu karena digunakan sebagai sarana dalam dunia pendidikan, administrasi dan diplomasi internasional di Eropa Barat. Pada zaman Renaisans penelitian bahasa mulai berkembang ke bahasa-bahasa Roman (bahasa Prancis, Spanyol, dan Italia) yang dianggap berindukkan bahasa Latin, juga kepada bahasa-bahasa yang non-Roman seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Swedia, dan Denmark.
Linguistik Modern
Linguistik modern terbagi menjadi dua, yaitu linguistik abad ke-19 dan linguistik abad ke-20.
Linguistik Abad ke-19
Pada abad ke-19 bahasa Latin sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam pemerintahan atau pendidikan. Objek penelitian adalah bahasa-bahasa yang dianggap mempunyai hubungan kekerabatan atau berasal dari satu induk bahasa. Bahasa-bahasa dikelompokkan ke dalam keluarga bahasa atas dasar kemiripan fonologis dan morfologis. Dengan demikian, dapat diperkirakan apakah bahasa-bahasa tertentu berasal dari bahasa moyang yang sama atau berasal dari protobahasa (protolanguage) yang sama sehingga secara genetis terdapat hubungan kekerabatan di antaranya. Bahasa-bahasa Roman, misalnya secara genetis dapat ditelusuri berasal dari bahasa Latin yang menurunkan bahasa Perancis, Spanyol, dan Italia.
Untuk mengetahui hubungan genetis di antara bahasa-bahasa dilakukan metode komparatif. Antara tahun 1820-1870 para ahli linguistik berhasil membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologisnya. Pada tahun 1870 itu para ahli bahasa dari kelompok Junggramatiker atau Neogrammarian berhasil menemukan cara untuk mengetahui hubungan kekerabatan antarbahasa berdasarkan metode komparatif.
Beberapa rumpun bahasa yang berhasil direkonstruksikan sampai dewasa ini antara lain :
1. Rumpun Indo-Eropa: bahasa Jerman, Indo-Iran, Armenia, Baltik, Slavis, Roman, Keltik, Gaulis.
2. Rumpun Semito-Hamit: bahasa Arab, Ibrani, Etiopia.
3. Rumpun Chari-Nil; bahasa Bantu, Khoisan.
4. Rumpun Dravida: bahasa Telugu, Tamil, Kanari, Malayalam.
5. Rumpun Austronesia atau Melayu-Polinesia: bahasa Melayu, Melanesia, Polinesia.
6. Rumpun Austro-Asiatik: bahasa Mon-Khmer, Palaung, Munda, Annam.
7. Rumpun Finno-Ugris: bahasa Ungar (Magyar), Samoyid.
8. Rumpun Altai: bahasa Turki, Mongol, Manchu, Jepang, Korea.
9. Rumpun Paleo-Asiatis: bahasa-bahasa di Siberia.
10. Rumpun Sino-Tibet: bahasa Cina, Thai, Tibeto-Burma.
11. Rumpun Kaukasus: bahasa Kaukasus Utara, Kaukasus Selatan.
12. Bahasa-bahasa Indian: bahasa Eskimo, Maya Sioux, Hokan
13. Bahasa-bahasa lain seperti bahasa di Papua, Australia dan Kadai.
Adapun ciri-ciri linguistik abad ke-19 adalah sebagai berikut:
1) Penelitian bahasa dilakukan terhadap bahasa-bahasa di Eropa, baik bahasa-bahasa Roman maupun non-Roman.
2) Bidang utama penelitian adalah linguistik historis komparatif. Yang diteliti adalah hubungan kekerabatan dari bahasa-bahasa di Eropa untuk mengetahui bahasa-bahasa mana yang berasal dari induk yang sama. Dalam metode komparatif itu diteliti perubahan bunyi kata-kata dari bahasa yang dianggap sebagai induk kepada bahasa yang dianggap sebagai keturunannya. Misalnya perubahan bunyi apa yang terjadi dari kata barang, yang dalam bahasa Latin berbunyi causa menjadi chose dalam bahasa Perancis, dan cosa dalam bahasa Italia dan Spanyol.
3) Pendekatan bersifat atomistis. Unsur bahasa yang diteliti tidak dihubungkan dengan unsur lainnya, misalnya penelitian tentang kata tidak dihubungkan dengan frase atau kalimat.
Linguistik Abad ke-20
Pada abad ke-20 penelitian bahasa tidak ditujukan kepada bahasa-bahasa Eropa saja, tetapi juga kepada bahasa-bahasa yang ada di dunia seperti di Amerika (bahasa-bahasa Indian), Afrika (bahasa-bahasa Afrika) dan Asia (bahasa-bahasa Papua dan banyak bahasa di negara-negara di Asia). Ciri-ciri dari linguistik abad ke-20 adalah:
1) Penelitian meluas ke bahasa-bahasa di Amerika, Afrika, dan Asia.
2) Pendekatan dalam meneliti bersifat strukturalistis, pada akhir abad 20 penelitian yang bersifat fungsionalis juga cukup menonjol.
3) Tata bahasa merupakan bagian ilmu dengan pembidangan yang semakin rumit. Secara garis besar dapat dibedakan atas mikrolinguistik, makrolinguistik, dan sejarah linguistik.
4) Penelitian teoretis sangat berkembang.
5) Otonomi ilmiah makin menonjol, tetapi penelitian antardisiplin juga berkembang.
6) Prinsip dalam meneliti adalah deskripsi dan sinkronis
Keberhasilan kaum Junggramatiker merekonstruksi protobahasa-protobahasa di Eropa mempengaruhi pemikiran para ahli linguistik abad ke-20, antara lain Ferdinand de Saussure. Sarjana ini tidak hanya dikenal sebagai bapak linguistik modern, melainkan juga seorang tokoh gerakan strukturalisme. Dalam strukturalisme bahasa dianggap sebagai sistem yang berkaitan (system of relation). Elemen-elemennya seperti kata, bunyi saling berkaitan dan bergantung dalam membentuk sistem tersebut. Beberapa ini adalah pokok pemikiran Saussure:
(1) Bahasa lisan lebih utama dari pada bahasa tulis. Tulisan hanya merupakan sarana yang mewakili ujaran.
(2) Linguistik bersifat deskriptif, bukan preskriptif seperti pada tata bahasa tradisional. Para ahli linguistik bertugas mendeskripsikan bagaimana orang berbicara dan menulis dalam bahasanya, bukan memberi keputusan bagaimana seseorang seharusnya berbicara.
(3) Penelitian bersifat sinkronis bukan diakronis seperti pada linguistik abad ke-19. Walaupun bahasa berkembang dan berubah, penelitian dilakukan pada kurun waktu tertentu.
(4) Bahasa merupakan suatu sistem tanda yang bersisi dua, terdiri dari signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Keduanya merupakan wujud yang tak terpisahkan, bila salah satu berubah, yang lain juga berubah.
(5) Bahasa formal maupun nonformal menjadi objek penelitian.
(6) Bahasa merupakan sebuah sistem relasi dan mempunyai struktur.
(7) Dibedakan antara bahasa sebagai sistem yang terdapat dalam akal budi pemakai bahasa dari suatu kelompok sosial (langue) dengan bahasa sebagai manifestasi setiap penuturnya (parole).
(8) Dibedakan antara hubungan asosiatif dan sintagmatis dalam bahasa. Hubungan asosiatif atau paradigmatis ialah hubungan antarsatuan bahasa dengan satuan lain karena ada kesamaan bentuk atau makna. Hubungan sintagmatis ialah hubungan antarsatuan pembentuk sintagma dengan mempertentangkan suatu satuan dengan satuan lain yang mengikuti atau mendahului.
Gerakan strukturalisme dari Eropa ini berpengaruh sampai ke benua Amerika. Studi bahasa di Amerika pada abad ke-19 dipengaruhi oleh hasil kerja akademis para ahli Eropa dengan nama deskriptivisme. Para ahli linguistik Amerika mempelajari bahasa-bahasa suku Indian secara deskriptif dengan cara menguraikan struktur bahasa. Orang Amerika banyak yang menaruh perhatian pada masalah bahasa. Thomas Jefferson, presiden Amerika yang ketiga (1801-1809), menganjurkan agar supaya para ahli linguistik Amerika mulai meneliti bahasa-bahasa orang Indian. Seorang ahli linguistik Amerika bemama William Dwight Whitney (1827-1894) menulis sejumlah buku mengenai bahasa, antara lain Language and the Study of Language (1867).
Tokoh linguistik lain yang juga ahli antropologi adalah Franz Boas (1858-1942). Sarjana ini mendapat pendidikan di Jerman, tetapi menghabiskan waktu mengajar di negaranya sendiri. Karyanya berupa buku Handbook of American Indian languages (1911-1922) ditulis bersama sejumlah koleganya. Di dalam buku tersebut terdapat uraian tentang fonetik, kategori makna dan proses gramatikal yang digunakan untuk mengungkapkan makna. Pada tahun 1917 diterbitkan jurnal ilmiah berjudul International Journal of American Linguistics.
Pengikut Boas yang berpendidikan Amerika, Edward Sapir (1884-1939), juga seorang ahli antropologi dinilai menghasilkan karya-karya yang sangat cemerlang di bidang fonologi. Bukunya, Language (1921) sebagian besar mengenai tipologi bahasa. Sumbangan Sapir yang patut dicatat adalah mengenai klasifikasi bahasa-bahasa Indian.
Pemikiran Sapir berpengaruh pada pengikutnya, Leonard Bloomfield (1887-1949), yang melalui kuliah dan karyanya mendominasi dunia linguistik sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1914 Bloomfield menulis buku An Introduction to Linguistic Science. Artikelnya juga banyak diterbitkan dalam jurnal Language yang didirikan oleh Linguistic Society of America tahun 1924. Pada tahun 1933 sarjana ini menerbitkankan buku Language yang mengungkapkan pandangan behaviorismenya tentang fakta bahasa, yakni stimulus-response atau rangsangan-tanggapan. Teori ini dimanfaatkan oleh Skinner (1957) dari Universitas Harvard dalam pengajaran bahasa melalui teknik drill.
Dalam bukunya Language, Bloomfield mempunyai pendapat yang bertentangan dengan Sapir. Sapir berpendapat fonem sebagai satuan psikologis, tetapi Bloomfield berpendapat fonem merupakan satuan behavioral. Bloomfield dan pengikutnya melakukan penelitian atas dasar struktur bahasa yang diteliti karena itu mereka disebut kaum strukturalisme dan pandangannya disebut strukturalis.
Bloomfield beserta pengikutnya menguasai percaturan linguistik selama lebih dari 20 tahun. Selama kurun waktu itu kaum Bloomfieldian berusaha menulis tata bahasa deskriptif dari bahasa-bahasa yang belum memiliki aksara. Kaum Bloomfieldian telah berjasa meletakkan dasar-dasar bagi penelitian linguistik di masa setelah itu.
Bloomfield berpendapat fonologi, morfologi, dan sintaksis merupakan bidang mandiri dan tidak berhubungan. Tata bahasa lain yang memperlakukan bahasa sebagai sistem hubungan adalah tata bahasa stratifikasi yang dipelopori oleh S.M. Lamb. Tata bahasa lainnya yang memperlakukan bahasa sebagai sistem unsur adalah tata bahasa tagmemik yang dipelopori oleh K. Pike. Menurut pendekatan ini setiap gatra diisi oleh sebuah elemen. Elemen ini bersama elemen lain membentuk suatu satuan yang disebut padatagmem.
Murid Sapir lainnya, Zellig Harris, mengaplikasikan metode strukturalis ke dalam analisis segmen bahasa. Sarjana ini mencoba menghubungkan struktur morfologis, sintaktis, dan wacana dengan cara yang sama dengan yang dilakukan terhadap analisis fonologis. Prosedur penelitiannya dipaparkan dalam bukunya Methods in Structural Linguistics (1951).
Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah Noam Chomsky. Sarjana inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui bukunya Syntactic Structures (1957), yang kemudian disebut classical theory. Dalam perkembangan selanjutnya, teori transformasi dengan pokok pikiran kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya melalui Aspects of the Theory of Syntax (1965) disebut standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif (generative syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard theory. Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis buku generative semantics; tahun 1980 government and binding theory; dan tahun 1993 Minimalist program.
Pentingnya Memelajari Linguistik
Bila dilihat dari sejarah linguistik yang telah saya paparkan, terasa sekali ada sesuatu yang lubang yang menganga. Robins, yang merupakan seorang Barat, melupakan satu hal. Apa itu? Dia melupakan peran ilmuwan Muslim dalam sejarah linguistik. Dalam karyanya yang bertajuk Sejarah Singkat Linguistik itu, dia hanya sedikit menyinggung nama-nama ilmuwan Muslim seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina dalam sebuah paragraf (Robins, 1995: 106). Itu pun bukan dalam pengertian tentang sumbangsih yang mereka berikan.
Akmal (2010) dalam sebuah makalahnya yang berjudul “Sumbangsih Islam Melalui Penerjemahan dalam Membangun Peradaban Manusia Dewasa Ini” mencoba mengisi kekosongan tersebut. Akmal memberikan ulasan bahwa Islam memberikan kontribusi yang amat penting dalam membangun peradaban manusia yang pengaruhya terasa hingga sekarang dan kontribusi itu dilakukannya melalui penerjemahan karya-karya para filosof Yunani. Proses penerjemahan itu dimulai sejak era Bani Abbasiyah di Baghdad (Asia) hingga era Kekhalifahan Bani Umayyah yang masih bercokol di Andalusia dan Cordova atau kini yang dikenal dengan Spanyol (Eropa). Akibatnya, peradaban Islam mengalami kemajuan yang amat pesat. Berbagai ilmu pengetahuan berkembang, termasuk di antaranya linguistik. Ketika itu, selama berabad-abad, bahasa Arab merupakan bahasa ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kemajuan intelektual bagi seluruh dunia yang berperadaban, terkecuali Timur Jauh. Dari abad ke-9 hingga ke-11, sudah ada hasil karya di berbagai bidang, di antaranya filsafat, medis, sejarah, agama, astronomi dan geografi, yang banyak ditulis dalam bahasa Arab daripada bahasa lainnya.
Bila di Cordova Islam begitu gemilang dalam peradaban, masih menurut Akmal (2010), sebaliknya Eropa secara umum amatlah jauh berbeda karena tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Zaman abad pertengahan Eropa diselimuti kebodohan karena penuh dengan perjuangan sengit antara kaum cendekiawan dan penguasa gereja. Kaum cendekiawan Eropa ini selalu memberontak pada kekuasaan, tetapi berhasil dipatahkan oleh gereja. Penguasa gereja itu mendirikan berbagai dewan pemeriksaan yang disebut Inkuisisi untuk menghukum ilmuwan serta orang-orang yang dituduh kafir dan atheis. Pembantaian digerakkan secara besar-besaran agar tidak ada seorang pun yang dapat menjadi akar perlawanan terhadap gereja. Diperkirakan antara tahun 1481 hingga 1901 korban pembantaian Inkuisisi mencapai 300 ribu jiwa termasuk 30 ribu jiwa dibakar hidup-hidup, di antaranya adalah sarjana fisika terkemuka Bruno. Selain Bruno, Galileo Galilei juga harus menjalani hukuman sampai mati di penjara karena pendapatnya yang menyatakan bahwa bumi beredar mengitari matahari.
Menyadari bahwa mereka tenggelam dalam keterbelakangan, orang-orang Eropa mulai aktif berinteraksi dengan orang-orang Islam dan mengambil ilmu dari mereka serta mengambil manfaat dari peradabannya. Mereka mendatangi Andalusia untuk belajar di universitas-universitas milik umat Islam. Di antara mereka banyak yang merupakan tokoh gereja dan kaum bangsawan. Misalnya adalah Gerbert d’Aurillac yang merupakan paus Perancis pertama bergelar Sylvester II. Dia habiskan tiga tahun di Toledo dengan para ilmuwan Muslim. Dia memelajari matematika, astronomi, kimia, dan ilmu-ilmu lainnya. Beberapa wali gereja/pendeta tinggi dari Perancis, Inggris, Jerman, dan Italia juga lama belajar di Universitas Muslim Spanyol.
Orang-orang Barat yang belajar di universitas-universitas Andalusia itu melakukan gerakan penerjemahan kitab-kitab para ilmuwan Muslim yang berbahasa Arab ke bahasa Latin dan mulailah buku-buku tersebut diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Barat. Ketika itu, bahasa Arab menjadi bahasa terdepan di dunia dalam masalah ilmu pengetahuan. Orang yang ingin mempelajari ilmu pengetahuan harus pandai berbahasa Arab. Bercakap-cakap dengan bahasa tersebut merupakan bukti tingkat wawasan yang tinggi (al-Qardhawi, 2005: 105). Pada abad ke-12 diterjemahkan kitab Al-Qanûn karya Ibnu Sina tentang kedokteran. Pada akhir abad ke-13 diterjemahkan pula kitab Al-Hawiy karya Ar-Razi yang lebih tebal dan lebih luas pembahasannya daripada Al-Qanûn. Kedua buku ini hingga abad ke-16 masih menjadi buku pegangan bagi pengajaran ilmu kedokteran di perguruan-perguruan tinggi Eropa. Buku-buku filsafat bahkan lebih banyak diterjemahkan. Bangsa Barat belum pernah mengenal filsafat-filsafat Yunani kuno kecuali melalui karangan dan terjemahan-terjemahan para ilmuwan Muslim.
Interaksi Eropa dengan Islam sangat luar biasa pengaruhnya. Pengaruh yang paling penting adalah semangat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang mereka serap dari umat Islam. Pengaruh Islam terhadap Eropa mencakup hampir seluruh sisi kehidupan masyarakat Eropa. Metode, sekolah, universitas, ilmuwan, dan buku-buku Islam menjadi pengaruh dan penggerak kebangkitan Eropa. Di abad ke-15 muncullah gerakan di Eropa yang dinamakan Renaisans (renaissance). Renaisans berasal dari kata renasseimento yang berarti lahir kembali sebagai manusia yang serba baru. Renaisans dimaknai sebagai kelahiran kembali atau kebangkitan kembali jiwa atau semangat manusia yang selama Abad Pertengahan terbelenggu oleh kebodohan. Renaisans disebut juga Abad Kebangkitan karena gerakan itu merupakan awal dari kebangkitan masyarakat Eropa yang ingin bebas dan tidak lagi terkungkung sebagai kehendak untuk merealisasikan hakikat manusia sendiri. Renaisans adalah gerakan yang menaruh minat untuk memelajari dan memahami kembali peradaban dan kebudayaan Yunani dan Romawi kuno. Renaisans terjadi melalui proses yang sangat panjang di mana pengaruh Islam amatlah mendominasi dan tidak bisa diingkari. Kehidupan intelektual di Eropa sebagai warisan pemikiran yang mulai dikembangkan pada abad ke-12 menyebabkan berkembangnya ilmu pengetahuan yang sebagian besar maju berkat penggunaan ilmu pasti dari kalangan filosof-filosof Islam. Dengan munculnya Renaisans, perhatian dan penggalian terhadap filsafat Abad Kuno, terutama filsafat Aristoteles, semakin berkembang. Orang Eropa Barat untuk pertama kalinya mengenal tulisan-tulisan Aristoteles melalui terjemahan-terjemahan bahasa Arab serta melalui ajaran-ajaran dan komentar-komentar yang disusun filosof-filosof Arab yang menafsirkan filsafat Aristoteles yang telah mendapat pengaruh dari paham Neo-Platonisme. Selain Renaissans, pengaruh Islam lainnya bagi kebangkitan Eropa adalah gerakan Reformasi pada abad ke-16, tumbuhnya Rasionalisme di abad ke-17, dan Pencerahan (aufklaerung) di abad ke-18.
Lantas apa sumbangsih nyata ilmuwan Muslim terhadap peradaban dunia yang pengaruhnya terasa hingga kini? Jawabannya menurut Akmal ternyata adalah angka nol. Angka nol adalah angka yang diperkenalkan oleh al-Khawarizmi. Meski masih diperdebatkan apakah dia penemunya atau bukan–karena ada pendapat yang menyebutkan bahwa dia hanya mengadopsinya dari sistem angka India–yang jelas angka nol telah mengubah dunia hingga saat ini. Angka nol, yang kemudian dikenal sebagai bagian dari angka Arab, memudahkan kita dalam menuliskan angka yang jumlahnya ratusan bahkan jutaan ketimbang menuliskannya dalam bahasa Latin yang memakai sistem angka yang disebut angka Romawi. Berkat angka nol terciptalah sebuah benda ajaib yang sangat membantu dan menunjang nyaris semua kegiatan kita sehari-hari. Benda tersebut adalah komputer. Komputer dapat beroperasi berkat adanya bahasa pemograman. Bahasa pemrograman, atau sering diistilahkan juga dengan bahasa komputer, adalah teknik komando/instruksi standar untuk memerintah komputer. Salah satu bahasa pemograman komputer adalah kode bahasa biner (http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_pemrograman, diunduh pada 30 September 2010). Bahasa atau sistem biner (binary system) dimaknai oleh Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1995: 107) sebagai a system of numbers, common in computing, using only the two numbers 0 and 1.
Kembali sebuah pertanyaan mengemuka. Apa pentingnya memelajari linguistik? Lebih spesifik lagi, apa pentingnya seorang Muslim memelajari linguistik? Saya rasa jawabannya jelas bila melongok apa yang telah saya ulas di atas. Seperti diketahui, saat ini peradaban Barat tengah berada di puncak kejayaannya, sedangkan kaum Muslim berada di dasarnya. Penandanya adalah berbagai gadget hasil kemajuan teknologi termutakhir. Di pelbagai peralatan itu sesungguhnya terdapat jejak al-Khawarizmi dengan angka nolnya itu. Mengapa bisa timbulnya Renaisans? Karena Barat memelajari bahasa Arab, bahasa yang menjadi sarana ilmu pengetahuan di kala itu. Dengan memelajari (tata) bahasa Arab berarti pula mereka memelajari linguistik Arab (nahwu dan sharaf atau morfologi dan sintaksis). Kemudian, setelah penguasaan itu dicapai, mereka mengalihkan ilmu-ilmu yang ditulis dalam bahasa Arab itu ke dalam bahasa mereka, bahasa Latin. Akibatnya, kini, di zaman ini, kaum Muslim hanya menjadi pengguna dari berbagai capaian peradaban Barat.
Lalu, bagaimana dengan Muslim di Indonesia? Jawabannya sama saja. Kita hanya jadi penonton dari peradaban Barat. Dalam hal linguistik pun demikian. Ilmu linguistik di Indonesia masih banyak dikuasai oleh non-Muslim. Akibatnya, beberapa kosakata yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dari bahasa Arab mengalami perubahan makna. Sebagai contoh, kata qalb ‘hati’ terserap menjadi kalbu. Padahal, dalam bahasa aslinya kata tersebut memakai huruf qaf yang padanannya dalam adalah huruf q bukan huruf k. Kata yang mirip dengan dengan qalb adalah kalb yang memiliki makna anjing. Kalb yang menggunakan huruf kaf amatlah dekat dengan kalbu. Jadi, apabila ada yang berucap, “Ucapanmu menusuk kalbuku,” sebenarnya bermakna “Ucapanmu menusuk anjingku.” Begitu pula, contoh lainnya, kata ridha yang menjadi rida. Ridha dalam bahasa Arab bermakna kerelaan, sementara rida dalam bahasa Arab berarti selendang. Hal ini menyebabkan kaum Muslim pengguna bahasa Indonesia memakai kata-kata meski tahu bahwa maknanya kurang tepat. Bayangkan saat kita berdoa, “Ya Allah aku mohon rida-Mu.” Allah sebagai Tuhan yang Maha Pengasih tentunya mengabulkan doa kita. Namun, karena kita menyebutnya rida, bukan ridha, tentu saja Ia mengabulkannya dengan memberikan selendang bukan kerelaan-Nya.
Ringkasnya, linguistik penting untuk dipelajari terutama bagi kita kaum Muslim. Apabila telah menguasai linguistik, tentunya kita dapat menerjemahkan bahasa yang dikuasai Barat dalam khazanah ilmu pengetahuan dan Islam pun dapat kembali bertengger di puncak kejayaan peradabannya. Semua itu bisa dimulai di negeri kita, Indonesia.
Pustaka Acuan
Akmal, Hilmi. 2010. “Sumbangsih Islam Melalui Penerjemahan dalam Membangun
Peradaban Manusia Dewasa Ini,” makalah yang disampaikan pada sebuah Seminar Nasional di Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Oktober 2010.
Kridalaksana, Harimurti, 1997. “Pendahuluan” dalam Djoko Kentjono (peny.).
Dasar-dasar Linguistik Umum. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
____________________, 2005. “Bahasa dan Linguistik” dalam Kushartanti, Untung
Yuwono, dan Multamia RMT Lauder (peny.). Pesona Bahasa Langkah Awal
Memahami Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Kwary, Denny Arnos, “Gambaran Umum Ilmu Bahasa.” Diunduh dari www.kwary.net
pada Februari 2009.
Lauder, Allan F. dan Multamia, RMT Lauder. 2005. “Berbagai Kajian Linguistik,” dalam
Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder (peny.). Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Mathews, Peter. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford
University Press.
Robins, R. H. 1995. Sejarah Singkat Linguistik. Bandung: Penerbit ITB.
[1] Eseperanto adalah bahasa buatan yang diperkenalkan oleh L. L. Zamenhof pada tahun 1887 sebagai bahasa buatan yang netral untuk orang-orang yang bahasa ibunya berbeda. Bahasa itu menggabungkan unsur-unsur dari berbagai bahasa Eropa, tapi dengan sebuah struktur morfologi yang dirancang agar jelas dan teratur.
[2] Basic English adalah bahasa buatan yang diciptakan oleh C. K. Ogden pada tahun 1930-an yang mengurangi kosakata bahasa Inggris dengan maksud untuk digunakan secara internasional.
trimakasih.....
BalasHapus